Kamis, 28 Januari 2016

Suara Wanita Aurat Bagi Lawan Jenis?

Manusia sebagai makhluk sosial tentu perlu bermuamalah satu sama lain. Interaksi lawan jenis antara laki-laki dan perempuan acap kali terjadi dan tak bisa dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pendapat sebagian orang mengatakan, suara wanita termasuk aurat. Hal ini tentu menjadi tanda tanya. Lantas, bagaimanakah kaum Hawa berinteraksi dengan lawan jenis nonmahramnya? Apakah harus dengan bahasa isyarat?

Perkataan, shautul mar’ah ‘aurah (suara wanita itu adalah aurat) ada yang menyandarkan pada hadis Rasulullah SAW. Namun, tentu saja hadis ini tidak shahih. Bahkan, ada kalangan ahli hadis yang menyebutkan hadis ini merupakan maudu’ (palsu). Namun, perkara suara wanita merupakan aurat atau tidak memang ada perbedaan pendapat ulama.

Mazhab Hanafi berpendapat, suara wanita termasuk aurat. Mereka berdalil kaidah mafhum muwafaqah pada firman Allah SWT, "Dan janganlah mereka menyentakkan kakinya ke tanah agar diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan mereka." (QS an-Nur [24] :31).

Kaidah mafhum muwafaqah fahwal khitab ini dimaknai, hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafaz. Dalam hal ini hukum yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Maknanya, jika suara gelang kaki saja dianggap aurat untuk didengarkan, tentu lebih-lebih aurat lagi suara dari perempuan itu sendiri.

Kaidah ini juga berlaku pada firman Allah SWT, "Jangan kamu katakan kepada kedua (orang tuamu) perkataan ‘uf’ .(QS al-Isra’ [17]: 23-24). Artinya, mengatakan "uf" saja tidak boleh apalagi sampai melakukan perbuatan memukul, menampar, dan seterusnya.

Mazhab Hanafi banyak dipakai di Arab Saudi, Yaman, dan beberapa negeri di Timur Tengah. Akibatnya, wanita benar-benar dilarang untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Paham ulama setempat menyebutkan, Muslimah dilarang untuk berkomunikasi dengan lelaki asing.

Sedangkan untuk daerah yang menggunakan Mazhab Syafi’i, model aturan seperti ini tidaklah ditemui. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa suara wanita tidak termasuk aurat.

Pendapat mahab tersebut, yakni pendapat yang rajih (paling kuat) menurut jumhur ulama. Seperti diterangkan Al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani (18/146), "yang tersebut dalam kitab-kitab fikih Syafi’i, aku sendiri cenderung kepada pendapat ini (bahwa suara bukanlah aurat), kecuali jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah."

Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh Al Islami wa Adillatuhu berkata, "Suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat karena para sahabat Nabi mendengarkan suara para istri Nabi SAW untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya walaupun dalam membaca Alquran dengan sebab khawatir timbul fitnah."

Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi, dalam obrolan antarlawan jenis yang dilarang, yakni khudu, berbicara yang dapat membangkitkan nafsu orang yang kotor hatinya.

Banyak riwayat yang bisa dijadikan dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat. Ummul Mukminin Aisyah RA sendiri sering ditanya oleh para sahabat tentang hadis-hadis yang ia terima dari Rasulullah SAW semasa hidupnya.

Aisyah RA merupakan orang keempat terbanyak yang meriwayatkan hadis. Semua hadis darinya ia ceritakan kepada para sahabat nabi. Aisyah sudah menjadi guru bagi para pemburu hadis Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW sendiri mempunyai majelis taklim khusus ibu-ibu yang Beliau sendiri bisa berdiskusi langsung. Para wanita belajar langsung dari Rasulullah, bertanya dan berdiskusi langsung dengan Beliau.

Dalam surah al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman, "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu ‘tunduk’ dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada ‘penyakit dalam hatinya’ dan ucapkanlah perkataan yang baik."

Ayat ini menegaskan, jika wanita ingin berkomunikasi dengan lawan jenisnya, hendaklah memperhatikan adab sopan santun yang baik. Jangan ia mendayu-dayukan suaranya sehingga membangkitkan syahwat laki-laki.

Jadi, sebenarnya sah-sah saja bagi Muslimah untuk berbicara secara langsung dengan lawan jenis sejauh tidak membawa dampak negatif. Apalagi, untuk tujuan menuntut ilmu yang diperlukan diskusi dan bertukar pendapat sejauh komunikasi tersebut bermanfaat dan memperhatikan adab-adabnya.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/12/05/ng3ks89-suara-wanita-aurat-bagi-lawan-jenis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar